Rabu, 05 Januari 2011

Belajar Dari Kasus Nurdin Halid

Belajar Dari Kasus Nurdin Halid


Kejaksaan Agung akhirnya “menangkap” Nurdin Halid dan menjebloskannya ke penjara menyusul putusan dua tahun kurungan badan yang dijatuhkan Mahkama Agung (MA). Kejadian ini menyita perhatian masyarakat tidak hanya karena faktor pribadi atau jabatan-jabatan publi Nurdin Halid itu sendiri, tetapi juga karena bertepatan dengan saat dia dilantik menjadi anggota DPR RI antarwaktu dari Partai Golkar. Inilah sebabnya mengapa kemudian muncul wacana bahwa putusan MA bermuatan politik. Bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin “menghabisi” karier politik Nurdin Halid.
Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa ini, terutama dalam konteks law enforcement? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
Dua Ranah yang Berbeda
Hukum harus pasti dan adil. Kepastian hukum selalu berhubungan dengan kepastian perumusan prinsip-prinsip hukum dan kepastian putusan hukum itu sendiri. Hukum yang pasti selalu dirumuskan dengan bahasa-bahasa yang lugas dan tidak multi tafsir. Kepastian perumusan prinsip hukum inilah yang kemudian menjamin kepastian putusan hukum, sehingga pelanggar hukum dengan jenis pelanggaran yang sama akan dijatuhi hukuman yang beratnya kurang lebih sama. Kepastian hukum semacam ini juga menegaskan prinsip equality before the law yang tidak bisa ditawar lagi dalam penegakan hukum.
Sementara itu, hukum yang adil tidak lain sebagai hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tidak jarang orang meragukan rasa keadilan masyarakat karena dinilai kabur atau susah dikuantifikasi. Orang lupa bahwa rasa keadilan masyarakat justru nyata dalam realitas penegakan hukum itu sendiri. Seseorang yang mengorupsi uang negara milyaran rupiah dan dihukum hanya beberapa bulan penjara atau bahkan dinyatakan bebas jelas menciderai rasa keadilan masyarakat.
Kita belajar dari kasus Nurdin Halid, bahwa penegakan hukum di Indonesia mulai berada pada jalur yang benar, yakni jalur kepastian dan keadilan hukum. Karena itu, memaknakan atau mewacanakan putusan MA tersebut sebagai yang bermuatan politik hanya akan mengaburkan kepastian hukum itu sendiri. Meskipun berhubungan erat, ranah politik berbeda dengan ranah hukum. Mengutip filsuf Ronald Dworkin, hukum adalah sebuah sistem hak dan kewajiban di mana keputusan-keputusan yang diambil terutama didasarkan pada prinsip-prinsip legal-formal, sementara keputusan-keputusan politik diambil berdasarkan kebijakan-kebijakan (Virginia Held, 1991: 115).
Karena itu, pendapat bahwa putusan MA atas perkara korupsi Nurdin Halid sebagai upaya politicking pihak-pihak tertentu jelas salah kaprah. Selain itu, menurut Virginia Held, satu hal yang sering sekali dilupakan orang adalah bahwa semua keputusan hukum merupakan penegasan sikap deontologis, bahwa seseorang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dihukum semata-mata karena tindakan yang dilakukannya, dan bukan karena opini publik, dendam politik, atau hal-hal lainnya di luar wilayah hukum.
Sikap deontologis dalam keputusan-keputusan hukum inilah yang menegaskan sekali lagi eksistemsi etika dalam hukum. Bahwa pihak yang dihukum sungguh menyadari betapa perbuatan-perbuatannya sangat merugikan kepentingan orang lain (dirinya sebagai pribadi moral yang rasional). Bahwa dia memiliki integritas moral yang andal, yang karena kebabsannya, senantiasa berusaha mencari keadilan demi menegakkan hak-haknya. Bahwa pada akhirnya dia akan menerima segala konsekuensi yang diputuskan pengadilan terhadap dirinya ketika segala upaya hukum yang dilaluinya dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan.
Kita sedih ketika putusan-putusan pengadilan yang dijatuhkan atas para koruptor di negeri ini sering digiring ke dalam ranah politik seraya membangun opini publik seakan-akan orang tersebut tidak bersalah. Lebih menyedihkan lagi, koruptor yang sangat jelas bersalah secara hukum, mencoba memanfaatkan celah hukum atau prosedur-prosedur legal-formal seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali hanya karena ingin mengulur-ulur waktu eksekusi putusan pengadilan oleh kejaksaan. Praktik semacam ini jelas mengaburkan kepastian dan keadilan hukum sekaligus semakin melukai rasa keadilan masyarakat.
Kita tentu berharap Nurdin Halid termasuk seorang public figur yang memiliki integritas moral yang tinggi. Dari suara hatinya yang paling dalam Beliau seharusnya tahu apakah putusan MA tersebut murni putusan hukum atau upaya menjegal karier politiknya. Tentu diandaikan Nurdin Halid sangat jujur pada suara hatinya. Jika pengandaian-pengandaian ini benar adanya, maka Nurdin Halid seharusnya menerima sanksi atau hukuman yang dijatuhkan MA sebagai bagian dari restitusi atas pelanggaran-pelanggaran hak publik yang telah dilakukannya, dan bukan men-delay putusan MA dengan mewacanakan hal-hal lain di luar ranah hukum.
Memang susah menjadi jujur, karena kejujuran menuntut lebih dari sekadar wacana atau upaya pembelaan diri.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar