Belajar Dari Kasus Nurdin Halid
Kejaksaan Agung akhirnya “menangkap” Nurdin Halid dan menjebloskannya ke penjara menyusul putusan dua tahun kurungan badan yang dijatuhkan Mahkama Agung (MA). Kejadian ini menyita perhatian masyarakat tidak hanya karena faktor pribadi atau jabatan-jabatan publi Nurdin Halid itu sendiri, tetapi juga karena bertepatan dengan saat dia dilantik menjadi anggota DPR RI antarwaktu dari Partai Golkar. Inilah sebabnya mengapa kemudian muncul wacana bahwa putusan MA bermuatan politik. Bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin “menghabisi” karier politik Nurdin Halid.
Apa yang dapat kita  pelajari dari peristiwa ini, terutama dalam konteks law enforcement?  Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
Dua Ranah  yang Berbeda
Hukum  harus pasti dan adil. Kepastian hukum selalu berhubungan dengan  kepastian perumusan prinsip-prinsip hukum dan kepastian putusan hukum  itu sendiri. Hukum yang pasti selalu dirumuskan dengan bahasa-bahasa  yang lugas dan tidak multi tafsir. Kepastian perumusan prinsip hukum  inilah yang kemudian menjamin kepastian putusan hukum, sehingga  pelanggar hukum dengan jenis pelanggaran yang sama akan dijatuhi hukuman  yang beratnya kurang lebih sama. Kepastian hukum semacam ini juga  menegaskan prinsip equality before the law yang tidak bisa  ditawar lagi dalam penegakan hukum.
Sementara itu, hukum  yang adil tidak lain sebagai hukum yang memenuhi rasa keadilan  masyarakat. Tidak jarang orang meragukan rasa keadilan masyarakat karena  dinilai kabur atau susah dikuantifikasi. Orang lupa bahwa rasa keadilan  masyarakat justru nyata dalam realitas penegakan hukum itu sendiri.  Seseorang yang mengorupsi uang negara milyaran rupiah dan dihukum hanya  beberapa bulan penjara atau bahkan dinyatakan bebas jelas menciderai  rasa keadilan masyarakat.
Kita belajar dari  kasus Nurdin Halid, bahwa penegakan hukum di Indonesia mulai berada pada  jalur yang benar, yakni jalur kepastian dan keadilan hukum. Karena itu,  memaknakan atau mewacanakan putusan MA tersebut sebagai yang bermuatan  politik hanya akan mengaburkan kepastian hukum itu sendiri. Meskipun  berhubungan erat, ranah politik berbeda dengan ranah hukum. Mengutip  filsuf Ronald Dworkin, hukum adalah sebuah sistem hak dan kewajiban di  mana keputusan-keputusan yang diambil terutama didasarkan pada  prinsip-prinsip legal-formal, sementara keputusan-keputusan politik  diambil berdasarkan kebijakan-kebijakan (Virginia Held, 1991: 115).
Karena itu, pendapat  bahwa putusan MA atas perkara korupsi Nurdin Halid sebagai upaya politicking  pihak-pihak tertentu jelas salah kaprah. Selain itu, menurut Virginia  Held, satu hal yang sering sekali dilupakan orang adalah bahwa semua  keputusan hukum merupakan penegasan sikap deontologis, bahwa seseorang  dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dihukum semata-mata karena  tindakan yang dilakukannya, dan bukan karena opini publik, dendam  politik, atau hal-hal lainnya di luar wilayah hukum.
Sikap deontologis  dalam keputusan-keputusan hukum inilah yang menegaskan sekali lagi  eksistemsi etika dalam hukum. Bahwa pihak yang dihukum sungguh menyadari  betapa perbuatan-perbuatannya sangat merugikan kepentingan orang lain  (dirinya sebagai pribadi moral yang rasional). Bahwa dia memiliki  integritas moral yang andal, yang karena kebabsannya, senantiasa  berusaha mencari keadilan demi menegakkan hak-haknya. Bahwa pada  akhirnya dia akan menerima segala konsekuensi yang diputuskan pengadilan  terhadap dirinya ketika segala upaya hukum yang dilaluinya dibuktikan  sebaliknya oleh pengadilan.
Kita sedih ketika  putusan-putusan pengadilan yang dijatuhkan atas para koruptor di negeri  ini sering digiring ke dalam ranah politik seraya membangun opini publik  seakan-akan orang tersebut tidak bersalah. Lebih menyedihkan lagi,  koruptor yang sangat jelas bersalah secara hukum, mencoba memanfaatkan  celah hukum atau prosedur-prosedur legal-formal seperti banding, kasasi,  atau peninjauan kembali hanya karena ingin mengulur-ulur waktu eksekusi  putusan pengadilan oleh kejaksaan. Praktik semacam ini jelas  mengaburkan kepastian dan keadilan hukum sekaligus semakin melukai rasa  keadilan masyarakat.
Kita tentu berharap  Nurdin Halid termasuk seorang public figur yang memiliki  integritas moral yang tinggi. Dari suara hatinya yang paling dalam  Beliau seharusnya tahu apakah putusan MA tersebut murni putusan hukum  atau upaya menjegal karier politiknya. Tentu diandaikan Nurdin Halid  sangat jujur pada suara hatinya. Jika pengandaian-pengandaian ini benar  adanya, maka Nurdin Halid seharusnya menerima sanksi atau hukuman yang  dijatuhkan MA sebagai bagian dari restitusi atas pelanggaran-pelanggaran  hak publik yang telah dilakukannya, dan bukan men-delay  putusan MA dengan mewacanakan hal-hal lain di luar ranah hukum.
Memang susah menjadi  jujur, karena kejujuran menuntut lebih dari sekadar wacana atau upaya  pembelaan diri.***
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar