i
  
 Detik-Detik Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945
Detik-Detik Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945  
 
Sayang sekali jika anak muda yang merupakan generasi penerus Bangsa Indonesia tidak mengerti 
Sejarah Perjuangan Bangsa sendiri, Indonesia tercinta ini 
 
 
Berikut fakta sejarah yang terjadi pada saat Proklamasi Kemerdekaan  Indonesia ( diperoleh dari berbagai rangkuman sumber sejarah Bangsa  Indonesia antara lain dari : 
Sekretariat Negara RI & 
Wikipedia ) :
Perdebatan Antara Golongan Tua & Golongan Muda
Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan  pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda,  sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi  Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah  Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi  itu terdapat  perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya,  berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika  tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. 
Soekarno dan 
Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat 
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia  ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak  menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak  disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah  badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki  terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas  sama  sekali  dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat  ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan   tua  yang  mendorong  mereka  melakukan “aksi penculikan” terhadap diri  Soekarno-Hatta ( lihat  Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di 
Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta,  tempat  kediaman Bung Karno, berlangsung  perdebatan   serius antara  sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan  sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo (  1978:85-87 ) sebagai berikut:
” 
Sekarang  Bung, sekarang! malam ini  juga  kita kobarkan revolusi !”  kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan  Bung Karno bahwa ribuan  pasukan  bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara  Jepang. ” 
Kita  harus segera merebut  kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” 
Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” 
Jika  Bung Karno  tidak mengeluarkan pengumuman pada malam  ini  juga, akan  berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan  besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil  berkata:  ” 
Ini batang leherku, seretlah saya ke  pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… 
Jepang  adalah masa silam. Kita sekarang harus  menghadapi Belanda yang akan  berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara  tidak setuju dengan  apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa  saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan,  mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan  itu sendiri ? 
Mengapa meminta Soekarno untuk  melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ” 
apakah kita harus menunggu  hingga kemerdekaan itu diberikan  kepada kita sebagai hadiah, walaupun  Jepang sendiri  telah menyerah dan telah  takluk  dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” 
Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? 
Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… 
kekuatan  yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan   kesiapan total tentara  Jepang! Coba, apa yang  bisa  kau perlihatkan  kepada saya ?  
Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? 
Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? 
Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah  diproklamasikan ? 
Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang  atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera  memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada  pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung  Karno menjawab bahwa ia tidak  bisa memutuskannya sendiri, ia harus  berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung  Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada  waktu itu antara  lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri,  Djojopranoto, dan  Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa  usul  para  pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta  kemungkinan  timbulnya  banyak korban jiwa dan harta. Mendengar  penjelasan Hatta, para pemuda  nampak tidak puas. Mereka mengambil   kesimpulan yang  menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan  maksud menyingkirkan  kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke 
Rengasdengklok.  Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana  dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan  kecewa,  terutama  karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang  sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik.  Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak  mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk  dibawa ke tempat yang  mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur  yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok  kota kecil dekat Karawang  dipilih oleh para pemuda  untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara  anggota 
PETA ( Pembela  Tanah Air ) 
Daidan Purwakarta dengan 
Daidan Jakarta  telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan  bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar  15  km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah  dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati  Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah  Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud  para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi  Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya  tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup  besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk  melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya  dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya  seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan  tetapi, Soekarno-Hatta tidak  mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap  berpegang teguh pada perhitungan dan  rencana mereka sendiri. Di sebuah   pondok  bambu berbentuk panggung  di tengah persawahan Rengasdengklok,  siang itu terjadi perdebatan panas; ” 
Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” 
Lalu apa ?”  teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang  menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau  berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” 
Yang  paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang   tepat. Di  Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan  ini untuk  dijalankan tanggal 17 “. ” 
Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa  tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” 
Saya  seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan  pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku.  Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang  baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang  berada   dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua  berpuasa, ini berarti saat  yang paling suci  bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu   Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat  suci. Al-Qur’an diturunkan  tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu  kesucian  angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog  antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana  ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan  tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang    harus dilaksanakan  di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk  menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan  kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar  Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok  untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput  tiba di  Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan,  bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus  1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi  PETA setempat, 
Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali  ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro,  ed. 1984:82-83 ).
Merumuskan Teks Proklamasi Kemerdekaan
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00.  Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1,  setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah  Soekarno. Rumah Laksamada  Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks  Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan  keselamatan pada Bung Karno  dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang  dikutip Soebardjo ( 1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini.  Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia  itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat  Indonesia.
Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak  dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai  pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang  agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia  adalah pejabat yang bertanggungjawab atas 
Bukanfu di Batavia;   kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi  diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat   terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan  bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada  Soebardjo. Melalui  kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak   sedikit  baginya,  ia  mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di  Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi  Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan  asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia .  Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk  mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal  dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil  mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa  keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan  kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan  kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting  bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui 
Somobuco (  kepala  pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi  sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura  mengatakan bahwa karena Jepang sudah  menyatakan menyerah kepada Sekutu,   maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi  mengubah status 
quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada  perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis  kebi  jakan itu, Nishimura  melarang Soekarno-Hatta  mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan  Proklamasi Kemerde  kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai  pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal  kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya  berharap agar pihak  Jepang  tidak menghalang-ha  langi pelaksanaan  proklamasi kemerdekaan  oleh rakyat Indonesia sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta  kembali ke rumah Laksamana  Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks  proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke  kamar tidurnya di  lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu  berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni,  Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo  membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan  tokoh-tokoh lainnya,  baik   dari golongan tua maupun  dari  golongan pemuda, menunggu di serambi  muka.
Menurut Soebardjo ( 1978:109 ) di ruang makan rumah Laksamana Maeda  menjelang tengah malam,  rumusan  teks Proklamasi yang akan dibacakan  esok harinya disusun. Soekarno menuliskan  konsep proklamasi pada  secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya  secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad  Soebardjo yang diambil dari rumusan   
Dokuritsu Junbi Cosakai ,  sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta.  Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari  kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut  pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan   
kekuasaan  ( transfer of sovereignty ). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di  ruang  makan itu selesai  merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk  menemui hadirin yang berkumpul di  ruangan itu. Saat itu, dinihari  menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka  pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih  merupakan konsep. Soebardjo ( 1978:109-110 ) melukiskan suasana ketika  itu: “ 
Sementara teks Proklamasi ditik, kami  menggunakan kesempatan   untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang  dapur, yang telah  disiapkan sebelumnya  oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar  tidurnya di tingkat atas. Kami  belum makan apa-apa, ketika meninggalkan  Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir  habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh.  Setelah kami terima kembali teks yang telah  ditik, kami semuanya menuju  ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada  kursi di dalam ruangan. Saya  bercampur dengan  beberapa anggota  Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri  di samping  saya.  Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu  menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno  membuka  pertemuan dini hari itu dengan beberapa  patah kata.
“
Keadaan yang mendesak telah memaksa  kita  semua mempercepat  pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah  siap   dibacakan  di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa  saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat  berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar  menyingsing“. Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar  bersama-sama  menandatangani  naskah proklamasi selaku wakil-wakil  bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad  Hatta dengan  mengambil contoh pada 
“Declaration of Independence ” Amerika  Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang  tidak  setuju  kalau  tokoh-tokoh  golongan tua yang  disebutnya  “budak-budak Jepang” turut  menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan  naskah  proklamasi  itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan  Mohammad  Hatta atas  nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu  diterima  oleh hadirin.
Naskah  yang sudah  diketik oleh Sajuti Melik,  segera ditandatangani  oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan  timbul mengenai  bagaimana  Proklamasi itu harus diumumkan  kepada  rakyat  di seluruh Indonesia ,   dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana  hal ini harus diselenggarakan? Menurut  Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni  kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah  diserukan untuk datang berbondong-bondong  ke 
lapangan IKADA pada  tanggal 17 Agustus  untuk mendengarkan Proklamasi  Kemerdekaan. Akan tetapi  Soekarno  menolak saran Sukarni. ” 
Tidak ,” kata Soekarno, ” 
lebih   baik dilakukan  di tempat kediaman saya di Pegangsaan  Timur.  Pekarangan  di  depan  rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa  kita harus memancing-mancing  insiden ? 
Lapangan  IKADA adalah  lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan  penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu  bentrokan  kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan  membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan  terjadi. Karena itu, saya  minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan  Timur 56 sekitar  pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Hari  Jumat di bulan Ramadhan, pukul  05.00 pagi, fajar 17 Agustus  1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian  daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah  Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks  Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan   kemerdekaan bangsa Indonesia hari  itu di rumah Soekarno, Jalan  Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta  sempat berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja pada pers dan   kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan  menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan  Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan  kepada  Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan   seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro  memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan  satu tiang bendera.  Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah  Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak  digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di  belakang  rumah. Bambu  itu dibersihkan dan diberi  tali. Lalu ditanam beberapa  langkah saja dari teras rumah. Bendera  yang dijahit  dengan  tangan  oleh Nyonya  Fatmawati  Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran  bendera itu tidak  standar, karena kainnya berukuran tidak  sempurna.  Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara  itu, rakyat yang telah mengetahui  akan dilaksanakan  Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati  oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa  orang  tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak  Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu  itu Soekarno terserang  sakit,  malamnya panas dingin terus  menerus   dan baru  tidur  setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para  undangan telah banyak  berdatangan, rakyat yang telah menunggu  sejak  pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka  yang diliputi suasana tegang  berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang  tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan  teks  Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa  kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad  Hatta datang dengan pakaian putih-putih  dan langsung menuju kamar  Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit  dari tempat tidurnya, lalu berpakaian.  Ia  juga mengenakan stelan  putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara  pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja.  Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah  seorang  anggota  
PETA,  segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah  menunggu  sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan  sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad  Hatta  maju beberapa  langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap  dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat  sebelum  membacakan teks proklamasi.

Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia
“
Saudara-saudara sekalian ! 
saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh  tahun kita bangsa Indonesia  telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air  kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk  mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa   kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha  kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman   Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada  mereka. Tetapi  pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita  percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar  mengambil  nasib bangsa dan nasib tanah air  kita  di dalam tangan kita  sendiri. Hanya bangsa yang  berani mengambil nasib dalam tangan   sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah  mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh  Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata  berpendapat,  bahwa  sekaranglah  datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan  tekad itu.  Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami  bangsa Indonesia dengan  ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal  yang mengenai  pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama  dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945.  Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
 
 
Teks Proklamasi Indonesia
 Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak  ada satu ikatan lagi  yang mengikat tanah air kita dan  bangsa  kita!  Mulai saat  ini kita menyusun  Negara  kita!  Negara Merdeka.  Negara  Republik Indonesia  merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan  memberkati kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 ).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran 
bendera Merah Putih.  Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir  dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K.  Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” 
lebih baik seorang prajurit ,”  katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam  PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud   mengambil bendera dari  atas baki  yang  telah disediakan   dan  mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.

Pengibaran Sang Saka Merah Putih
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan  lagu 
Indonesia Raya.  Bendera dikerek dengan  lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama  lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran  bendera,  dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr.  Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi  Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (  1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan  barisan pelopor yang  berjumlah kurang  lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki   halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang   penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung  Karno membacakan  Proklamasi  sekali lagi.  Mendengar teriakan itu Bung  Karno tidak  sampai  hati,   ia  keluar  dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa  Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya.  Mendengar  keterangan itu  Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung  Karno memberi  amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai   upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota 
Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi  (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan   menunggu di ruang belakang, tanpa  diberi kursi. Sudiro sudah dapat  menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai  mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk,  sehingga  terpaksa  berpakaian  lagi. Kemudian terjadi dialog antara  utusan Jepang dengan Bung Karno: ” 
Kami  diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” 
Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung  Karno dengan tenang. ” 
Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” 
Ya, sudah !”  jawab Bung Karno. Di sekeliling  utusan Jepang itu, mata para  pemuda  melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing.  Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit.  Sementara  itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya.  Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk  mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS  yang plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ).  Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah  itu, dokumentasinya hanya  ada  3 ( tiga ) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi,  pada saat pengibaran  bendera,  dan  sebagian  foto hadirin yang  menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah itu.